Subscribe by RSS RSS Icon
Follow me on Twitter Twitter Icon

ilmu pengetahuan teknologi dan kemiskinan

Konflik Sosial Kasus Tegal Dan Cilacap

PENDAHULUAN Latar Belakang Konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Konflik dapat bersifat tertutup (latent), dapat pula bersifat terbuka (manifest). Konflik berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat. Hanya saja, terdapat katup-katup sosial yang dapat menangkal konflik secara dini, sehingga tidak berkembang meluas. Namun ada pula faktor-faktor di dalam masyarakat yang mudah menyulut konflik menjadi berkobar sedemikian besar, sehingga memporakporandakan rumah, harta benda lain dan mungkin juga penghuni sistem sosial tersebut secara keseluruhan. Dalam suasana sistem sosial masyarakat Indonesia yang sangat rentan terhadap berbagai gejolak ini, sedikit pemicu saja sudah cukup menyebabkan berbagai konflik sosial. Konflik antar desa di Tegal (Senin, 10 Juli 2000) dan konflik antar kampung di Cilacap (Kamis, 6 Juli 2000) hanyalah merupakan contoh betapa hal-hal yang bersifat sangat sederhana ternyata dapat menjadi penyulut timbulnya amuk dan kerusuhan massa yang melibatkan bukan hanya pihak-pihak yang bertikai, melainkan juga seluruh desa. Desa-desa dan kampung-kampung di Jawa Tengah yang sudah sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun hidup dalam keharmonisan antar tetangga dan antar desa tersebut dapat berubah total menjadi saling serang dan saling menghancurkan rumah warga desa lain yang dianggap musuhnya. Pemerintah sebagai penanggungjawab keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sangat berperan penting dalam menciptakan suasana harmonis antar berbagai kelompok dalam masyarakat. Namun, bila pengendalian sosial oleh pemerintah melalui perangkat-perangkat hukumnya tidak berjalan, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul dalam masyarakat. Sebagaimana berbagai kerusuhan massal yang pernah terjadi sebelumnya, pemicu-pemicu tersebut bukanlah penyebab utama. Ini hanyalah casus belli yang memunculkan konflik terpendam yang berakumulasi secara bertahap. Penyebab utamanya mungkin baru dapat diketahui setelah suatu kajian yang seksama dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Dalam kaitan inilah, kajian singkat ini ingin diletakkan. Kajian yang ditulis dalam laporan ini, mungkin saja mengalami perubahan dengan berlangsungnya waktu, yaitu dengan semakin diketahuinya faktor-faktor lokal (indigenious factors). Meskipun demikian, laporan ini tetap di dasarkan atas data sekunder terbatas dengan pendekatan yang kritis. Tujuan Tujuan utama dari kajian singkat ini adalah untuk mengidentifikasi konflik, mencari faktor pendorong, pemicu dan penyebab terjadinya konflik yang dampaknya sangat merugikan, serta sebagai basis pembuatan peta daerah rawan konflik . Metode Pendekatan Data yang digunakan sebagai dasar analisis adalah menggunakan data sekunder dan berbagai berita dari berbagai sumber media massa. Meskipun demikian, diupayakan dengan mencermati faktor-faktor setempat yang lebih dominan sebagai penyebab utama (prima causa). KONFLIK ANTAR KELOMPOK DALAM MASYARAKAT KASUS TEGAL Letak Geografi Desa Karangmalang Kecamatan Kedungbanteng dan Desa Harjosari Kecamatan Suradadi terletak di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten dari 29 kabupaten dan 6 (enam) kotamadya di Jawa Tengah. Desa Harjosari mempunyai luas 5,6 hektar dengan penduduk 9.960 jiwa (824 KK). Penduduk Kampung Randu, desa Harjosari, umumnya petani, buruh tani, pedagang bakulan dan sebagian lagi sebagai tenaga kasar di beberapa kota besar terdekat. Jarak terhadap kota kecamatan kurang lebih 20 kilometer. Kronologi Peristiwa Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media massa, peristiwa amuk massa di Tegal terjadi secara bergelombang. Peristiwanya bermula dari perkelaian antar kelompok kedua desa, yaitu warga Desa Karangmalang, Kecamatan Kedungbanteng dan warga Desa Harjosari, Kecamatan Suradadi, keduanya di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ini terjadi pada hari Minggu malam jam 23:00 WIB di dekat rumah Sipon, warga desa Kampung Randu, Desa Harjosari yang menikahkan anak perempuannya dengan menanggap pertunjukan wayang golek. Dalam perkelaian tersebut, Bugel alias Karyono bin Wahid(25), seorang warga Desa Karangmalang tewas satu jam kemudian dalam perjalanan ke rumah sakit. Tangan Bugel dibabat hingga putus dengan senjata tajam. Tewasnya Bugel menimbulkan tindakan pembalasan warga Karangmalang terhadap warga Kampung Harjosari yang mayoritas tidak tahu menahu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan insiden Minggu malam. Sasaran utama pembalasan ini adalah Sa (34). Serangan pertama dilakukan oleh warga desa Karangmalang terhadap desa Kampung Randu pukul 04:00 WIB dan kedua pukul 07:00 WIB. Sebagai akibatnya, sebagian besar rumah warga Harjosari yang menggantungkan nafkahnya sebagai petani dan pedagang berubah menjadi lautan api. Ratusan warga Karangmalang yang sudah melengkapi dirinya dengan berbagai senjata tajam, pentungan, bom molotov dan jerigen berisi bensin membakar dan memporakporandakan Desa Harjosari. Warga Desa Harjosari yang melihat gelagat berbahaya ini telah mengosongkan rumahnya dan meninggalkan desanya untuk menyelamatkan diri. Sebagian warga masih sempat menyelamatkan harta benda mereka seperti pesawat televisi, sepeda, ternak dan pakaian ala kadarnya. Pihak keamanan, sejak terjadinya konflik antar kelompok di Kampung Randu Minggu malam sebenarnya sudah menduga akan terjadi aksi massa yang lebih besar. Namun aparat keamanan mengaku kebobolan karena aksi tersebut dilakukan oleh ribuan warga Karangmalang. Pihak keamanan sudah melakukan upaya menutup jalur pintu masuk dari Desa Harjosari dan Karangmalang dan sebaliknya. Namun pihak keamanan tidak dapat berbuat banyak ketika penyerbuan tersebut dilakukan melalui hutan jati yang langsung menembus Desa Harjosari. Akibat aksi massa tersebut, menurut Kepala Desa Harjosari, dari sebanyak 368 rumah di Harjosari, sebanyak 129 rumah diantaranya dibakar dan 116 rumah lainnya dirusak secara membabi buta dengan tingkat kerusakan berat dan ringan Warga Harjosari yang menyelamatkan diri tetap bertahan di pengungsian hingga Senin (10 Juli 2000). Ini berkisar 1.300 jiwa. Mereka tetap bertahan hingga Selasa besok paginya, menunggu situasi kampung aman kembali. Langkah Tindak Lanjut Peristiwa tersebut telah membuat kalang kabut aparat keamanan setempat, yang segera hadir di tempat, yaitu Kepolisian Wilayah Tegal, satuan Unit Perintis Sabhara, Brimob dari Tegal, Pemalang dan Pekalongan. Bantuan juga datang dari Kodim dan Batalyon 407 Slawi. Untuk mencegah aksi balas dendam perbatasan kedua wilayah ditutup sementara. Polisi telah menangkap 5 (lima) warga Desa Harjosari yang diduga melakukan pemukulan terhadap Bugel dan kawan-kawan, yaitu Wasrin bin Kramat (27), Sarono (23), Supardi (23), Sukarjo (27) dan Hadi (22). Namun, tersangka yang diduga kuat menusuk dan membabat tangan Bugel telah kabur sekeluarga. Beberapa warga yang terlibat amuk massa, beberapa di antaranya juga menghilang dari desanya. Mereka tertangkap setelah petugas seharian menyisir kawasan hutan jati sekitar desa. Pasukan keamanan sebanyak 300 orang tetap disiagakan di kedua desa yang bertikai. Kawasan hutan jati yang berbatasan dengan Desa Harjosari yang digunakan sebagai jalur penyerbuan ke desa tersebut tetap dijaga ketat. Bupati Tegal bersama Ketua DPRD dan Kapolres setempat berusaha menangkan warga kedua kampung yang bertikai dan mencegah tindakan pembalasan yang sangat merugikan kedua belah pihak. Hingga Rabu (12 Juli 2000) sedikitnya 75 warga Desa Karangmalang yang diduga sebagai pelaku aksi amuk massa ditangkap aparat kepolisian gabungan dari Kepolisian Resor Slawi dan Kepolisian Wilayah Pekalongan. Dari jumlah tersebut, 8 (delapan) di antaranya diduga sebagai provokator. Seorang tersangka provokator merupakan perangkat desa setempat dan seorang lagi merupakan pegawai negeri sipil. Warga yang tertangkap tersebut ditahan di Markas Kepolisian Resor Slawi, Kabupaten Tegal. Kepala Desa Karangmalang tidak keberatan warganya ditangkap asal pelaku pembunuhan warga Karangmalang juga diadili. Semula, terjadi bentrokan aparat dengan warga Karangmalang saat polisi menangkap pelaku pembakar rumah dari pintu ke pintu. Dari sebanyak 89 orang yang ditangkap, setelah pemeriksaan yang intensif hanya 17 orang yang resmi berstatus tersangka, 72 orang lainnya dibebaskan. Hari Kamis (13 Juli 2000) sore, Tim Penyidik Polres Tegal mulai memeriksa 300 warga Kampung Randu sebagai saksi. Saksi-saksi tersebut diakui sangat kooperatif yang diduga merupakan karakter asli warga setempat. KASUS CILACAP Letak Geografi Kampung Sumpin, Kampung Kebonmanis di satu pihak dan Kampung Plikon di lain pihak merupakan kampung-kampung di Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap juga merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang berlokasi di kawasan pantai selatan Pulau Jawa. Kronologi Peristiwa Konflik ini melibatkan warga Kampung Sumpian yang didukung warga Kebonmanis melawan warga Kampung Plikon, Desa Adipala, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Konflik antar warga ini dipicu oleh Suworyono yang memalak beberapa warga Kampung Plikon yang sedang main lotre. Penolakan warga ini berakhir dengan insiden pemukulan warga Plikon kepada Suwaryono bin Madislam (26). Suwaryono yang tidak menerima perlakuan ini memanggil teman-temannya sebanyak sekitar 20 orang, termasuk dua adiknya, yaitu Genjo dan Djoko. Mereka mendatangi rumah Nana Witana, tempat mengadu permainan. Warga yang sudah jengkel, akhirnya mengeroyok Suwaryono. Korban yang sudah tidak berdaya disiram bensin dan dibakar hingga tewas. Aksi ini berlangsung sekitar pukul 16:00 WIB hari Kamis (6 Juli 2000). Tewasnya warga Kebonmanis ini berbuntut panjang. Ratusan warga Sumpilan dan Kebonmanis yang membawa pentungan, parang, bensin dan senjata tajam lainnya, sekitar pukul 20:00 WIB menyerang Kampung Plikon. Mereka membakar rumah warga setempat, terutama yang berada di tepi jalan. Sebanyak 32 bangunan rumah habis terbakar. Warga Plikon bergegas menyelamatkan diri. Hal yang mengherankan, ketiga desa yang bertikai tersebut adalah desa-desa yang berdekatan dan banyak yang mempunyai hubungan keluarga. Langkah Tindak Lanjut Sebanyak 7 (tujuh) peleton aparat keamanan yang terdiri dari polisi termasuk Brimob dan aparat Kodim Cilacap dikerahkan untuk mengamankan situasi. Petugas baru berhasil menguasai keadaan menjelang tengah malam. Mereka membentuk pagar betis untuk memisahkan penduduk dua kampung yang bertikai. Polisi telah menangkap 11 warga Plikon yang diduga kuat terlibat dalam aksi pembakaran terhadap Suwaryono. Sebanyak 8 (delapan) warga Plikon telah ditahan. Mereka adalah Sabar (42), Bagio (23), Nana Witana (65), Karsidi (25), Sugihartono (24), Sulyono (25), Sukirno (20) dan Nurhadi (30). ANALISIS KEJADIAN Menurut sumber setempat, pertikaian antar warga dari kedua desa di Tegal bukan yang pertama kali terjadi. Pertikaian massal sebelumnya terjadi pada akhir Desember 1999. Saat itu, warga Karangmalang juga meninggal pada peristiwa di kampung yang sama. Dalam pemeriksaan polisi, beberapa warga Karangmalang yang sempat menginap di Polres Tegal sebagai saksi menyatakan bahwa tidak pernah terpikir sebelumnya akan membakari rumah warga Harjosari. Namun karena pengaruh hasutan, provokasi dari orang-orang tertentu yang dianggap tokoh, dia bersama warga lainnya akhirnya bergabung dalam aksi amuk massa tersebut. Warga yang menjalani pemeriksaan sangat kooperatif dalam menjawab berbagai pertanyaan terutama tentang sejumlah nama yang merupakan penyandang dana untuk membeli bensin atau provokator. Bersama 16 warga lainnya, seorang perangkat desa yang diduga bertindak sebagai penyandang dana telah ditahan di Polres Tegal. Memang sulit membayangkan kedua desa bertetangga, meskipun secara administratif berbeda kecamatan, dapat bertikai sedemikian ganas. Desa Harjosari dan Karangmalang merupakan wilayah perbatasan antara Kecamatan Suradadi dan Kecamatan Kedungbanteng di Kabupaten Tegal. Kedua desa berjarak kurang lebih 6 (enam) kilometer, suatu jarak yang sangat dekat untuk suatu kawasan desa. Perilaku warga Harjosari umumnya baik-baik. Mereka gampang diatur, sangat toleran, suka membantu sama lain dan tidak suka kekerasan. Namun akhir-akhir menjelang terjadinya amuk massa, ulah sekelompok pemuda yang kurang simpatik menyebabkan Kampung Randu seperti dikucilkan oleh warga kampung lain. Kesan ini muncul ketika terjadi serbuan ke Kampung Randu. Tidak ada warga kampung lain satupun yang berniat untuk membantu melerai atau mencegah penyerbu. Kejadian-kejadian tersebut tampaknya berlangsung sejalan dengan adanya sinyalemen persaingan bisnis kayu jati. Perseteruan terselubung antar desa tersebut membuat salah satu kelompok seolah-olah sengaja menciptakan situasi ini untuk menjarah kayu jati. Konon, pada waktu terjadi serbuan massa Senin dini hari dan berlanjut Senin pagi, pada saat yang sama terjadi penjarahan pohon jati di kawasan hutan yang letaknya berbatasan dengan Desa Harjosari. Kedua desa bertetangga sebenarnya merupakan desa yang yang relatif terpencil dan bukan daerah subur. Nafkah warga tampaknya terbantu oleh lokasi desa yang berbatasan dengan hutan jati Kesatuan Pemangkuan Hutan Wilayah Pekalongan. Selain bertani, sebagian warga memperoleh pendapatannya dari berjualan kayu jati yang sudah dibuat bahan bangunan. Daun pintu, misalnya, dapat laku dijual Rp 175.000 hingga Rp 200.000/buah. Kusen pintu dan jendela bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 150.000/buah. Dalam suasana maraknya usaha bahan bangunan , penebangan kayu di hutan secara illegal tidak mendapatkan sanksi apapun. Penegakan hukum seolah-olah tidak berjalan. Ini tampaknya menimbulkan perasaan jengkel berkepanjangan pada warga lain yang kurang memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan jati. Oleh karena itu, meninggalnya salah seorang warga Karangmalang merupakan pemicu bagi pembalasan terhadap warga Harjosari yang dianggap sebagai sumber kerusuhan. Sedangkan dalam kasus kerusuhan di Cilacap, tidak banyak yang dapat diungkap dari kejadian ini, kecuali bahwa aksi pembakaran korban hingga tewas Suwaryono merupakan korban tewas yang ke 15 dengan modus dibakar dalam peristiwa amuk massa di wilayah Cilacap dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir. Satu hal sudah jelas, bahwa pemalakan dalam kaitan ini bukanlah sebab utama terjadinya pembakaran. Ini hanyalah merupakan pemicu timbulnya kerusuhan yang lebih besar yang berakhir dengan pembakaran rumah warga yang notabene merupakan orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga antar satu dan lain desa. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan sebagai berikut: Pemicu utama dalam kasus kerusuhan massa di Tegal antara warga Kampung Randu, Desa Harjosari, Kecamatan Suradadi melawan Desa Karangmalang, Kecamatan Kedungbanteng di Kabupaten Tegal adalah kematian Bugel bin Wahid (25), warga Desa Karangmalang, yang bertandang di Desa Harjosari. Warga Karangmalang kemudian membalas kematian warganya ini dengan menyerbu Kampung Randu, Desa Harjosari, Senin (10 Juli 2000) dinihari secara bergelombang. Akibatnya, dari 368 rumah Kampung Randu yang ada, sebanyak 129 rumah dibakar, sebanyak 116 rumah lainnya mengalami rusak berat dan ringan. Akar permasalahan utama peristiwa ini tampaknya lebih dilandasi oleh persaingan laten antar sebagian warga ke dua desa karena mempunyai akses terhadap sumberdaya alam hutan kayu jati secara illegal, namun tidak ditindak secara hukum. Ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi desa-desa di sekitarnya yang lebih jauh dan kurang mempunyai akses terhadap sumberdaya alam tersebut. Pemicu utama kasus konflik antar kampung di Cilacap yang melibatkan warga Kampung Sumpilan yang didukung oleh warga Kampung Kebonmanis di satu pihak melawan warga Kampung Plikon, Kecamatan Adipala, keduanya di Kabupaten Cilacap, adalah pemalakan Suwaryono bin Masdilam (26) terhadap warga Kampung Plikon yang berakhir dengan dibakarnya Suwaryono Kamis (6 Juli 2000) malam. Tewasnya Suwaryono menyulut aksi balas dendam warga Sumpilan (kampung asal korban) dan kampung Kebonmanis dengan menyerbu rumah warga Kampung Plikon. Akibatnya, sebanyak 32 rumah hangus dimakan api. Sepeda motor Suwaryono juga ikut dibakar. Akar permasalahan utama dari peristiwa ini belum dapat dikemukakan dalam analisis ini karena belum ada data yang diperoleh. Untuk hal ini kiranya perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam melalui kunjungan ke daerah kejadian. Dalam kejadian itu dapat ditelusuri secara lebih luas, mengapa orang di kedua kampung itu mudah melampiaskan kemarahan dengan merusak, membunuh, membakar dan menghancurkan benda-benda yang dianggap milik "musuh". Apakah mungkin ada provokasi dari luar, dan apakah masyarakat di kedua desa itu mengalami tekanan mental dan beban hidup sehari-hari menjadi mudah meledakkan emosinya. Kedua kasus konflik sosial tampaknya merupakan indikasi semakin rentannya kondisi psikologi, sosial, ekonomi, hukum, politik dan keamanan. Hal-hal yang kurang lebih serupa, sampai batas-batas tertentu, dapat dijumpai di daerah-daerah lain, dengan sedikit banyak perbedaan. Ini misalnya dapat disimak dari berbagai peristiwa konflik sosial yang terjadi kurang lebih hampir bersamaan, yaitu sepanjang bulan Juni-Juli 2000. Beberapa contoh di antaranya: Konflik antar warga Kampung Hanja, Cibuntiris dan Sindang Jaya, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (21-24 Juni 2000). Penyerangan terhadap warga Kampung Hanja dan Buntiris, konon diawali oleh isu penduduk Kampung Hanja menganut aliran sesat. Sebanyak 30 rumah warga Hanja dibakar oleh sekitar 100 orang bertopeng secara bergelombang dalam 4 hari. Kerusuhan di Kumai, Kelurahan Kumai Hulu, Kecamatan Kumai Hulu, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Rabu, 5 Juli 2000). Sebanyak 4 (empat) orang tewas dan 2 (dua) rumah warga dibakar massa. Ini dipicu oleh pertengkaran antara buruh dan cukongnya. Namun buruh yang nekad bersama kelompoknya melakukan penyerangan yang berubah menjadi aksi pembakaran rumah di sekitar cukong. Kerusuhan di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (Sabtu, 8 Juli 2000). Peristiwa ini dipicu oleh aksi tiga pedagang kasur keliling yang disukan menyebarkan roti mengandung virus rabies untuk membuat anjing yang memakannya terjangkit penyakit rabies. Sebanyak 2 (dua) orang korban yang tewas adalah para pedagang tersebut, 1 (satu) pedagang lainnya meskipun babak belur dapat diselamatkan, karena dihakimi massa yang marah. Keributan antar warga Kampung Gabus, Desa Srimukti, Kecamatan Tambun, Bekasi dan Kampung Pangkalan, Desa Kedungpengawas, Kecamatan Babelan, Bekasi. Dua (2) orang warga Kampung Gabus yang akan melakukan penyerangan ke desa tetangganya, kampung Pangkalan tewas tenggelam di kali (Jum’at, 14 Juli 2000 dan Sabtu 15 Juli 2000). Tawuran pemuda di Matraman antara Palmeriam/kayumanis/Tegalan dan Berlan/Kebonmanggis/Manggarai pinggir kali (berkali-kali, Sabtu, 15 Juli 2000 dan terakhir 24 Juli 2000).
SOLUSI :
Tindakan hukum yang jelas dan tegas (law enforcement) terhadap pencurian kayu jati yang "diduga" telah dilakukan oleh sementara penduduk yang bermukim berdekatan dengan hutan jati. Muspida setempat perlu melakukan forum komunikasi dengan para warganya dan penyuluhan-penyuluhan sosial tentang berbagai kerugian akibat perselisihan antar desa. Di samping itu, juga perlu disosialisasikannya berbagai cara untuk menghindari berbagai kemungkinan provokasi. Sedapat mungkin perlu pula diusahakan kegiatan bersama antar desa yang memungkinkan warga antar desa membina hubungan komunikasi yang positif. Untuk kasus Cilacap, alternatif solusi belum dapat kami sampaikan. *end (Kebijakan Publik – Kedeputian Dinamika Masyarakat)

Sumber :
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:cVLZB2-2XroJ:www.ristek.go.id/%3Fmodule%3DNews%2520News%26id%3D279+contoh+kasus+dan+solusi+ilmu+pengetahuan+dan+teknologi&cd=23&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a

Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme

1. PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat
kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam dalam pengertian positf.
Tulisan ini lebih banyak membicarakan prasangka dalam dalam pengertian
negatif.Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak
juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka. Mengapa terjadi
perbedaan cukup menyolok? Tampaknya kepribadian dan intelekgensia, juga
faktor lingkungan cukup berkaitan dengan munculnya prasangka.

Akan menjadi lebih riskan lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga
melibatkan orang-orang di suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tidakantindakan
kekerasan dan destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian
yang tidak kecil.
Contoh-contoh lain: Prasangka diskriminasi ras yang berkembang di
kawasan Afrika Selatan dan sekitarnya membuat kawasan ini selalu bergolak.
Konflik-konflik antarsuku, antar ras tak dapat dihindarkan. Lebih jauh antara
kelompok minoritas kulit putih dengan kekuasaan dan kekuatan bersenjata
yang lebih tangguh, saling baku hantam dengan kelompok mayoritas orangorang
kulit hitam. Tindak kekerasan di Afrika Selatan jelas-jelas merupakan
manifestasi dari pertentangan sosial yang berlarur-larut.


SEBAB-SEBAB TlMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
(a) Berlatar belakang sejarah.
Orang-orang kuli putih di Amerika Serikat berprasangka negatif terhadap
orang-orang Negro, berlatar belakang pada sejarah masa lampau, bahwa
orang-orang kulit putih sebagai tuan dan orang-orang Negro berstatus
sebagai budak. Walaupun reputasi dan prestasi orang-orang Negro dewasa
ini cukup dapat dibanggakan, terutama dalam bidang olah raga, akan
tetapi prasangka terhadap orang-orang Negro sebagai biang keladi
kerusuhan dan keonaran belum sirna sampai dengan generasi-generasi
sekarang ini.
(b) Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio - kultural dan situasional.
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap
individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi
penurunan status atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
pimpinan Perusahaan terhadap karyawannya.
Pada sisi lain prasangka bisa berkembang lebih jauh, sebagai akibat adanya
jurang pemisah antara kelompok orang-orang kaya dengan golongan
orang-orang miskin.
Harta kekayaan orang-orang kaya baru, diprasangkai bahwa harta-harta
itu didapat dari usaha-usaha yang tidak halal.
Antara lain dari usaha korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebagai
pejabat dan lain sebagainya.


DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGIIMENGHILANGKAN
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI.
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi.
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapatan bagi
warga negara Indonesia yang masih tergolong di bawah garis
kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial
anatar si kaya dan si miskin.
Melalui pelaksanaan program-program pembangunan yang mantap
yang didukung oleh lembaga-Iembaga ekonomi pedesaan seperti
BUUD dan KUD. Juga melalui program
Kredit Candak Kulak(KCK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
dan dalam sektor pertanian dengan program Intensifikasi
Khusus(Insus), Proyek Perkeb.unan Inti Rakyat(PIR), Juga Proyek
Tebu Rakyat diperkirakan golongan ekonomi lemah lambat laun akan
dapat menikmati usaha-usaha pemerintah dalam perbaikan sektor
perekonomian.

b. Perluasan kesempatan belajar.
Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar
bagi seluruh warganegara Indonesia, paling tidak dapat mengurangi
prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi
hanya dapat dinikmati oleh kalangan ma~yarakat menengah dan
kalangan atas.
Mengapa '? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan
tinggi memang mahaL disamping itu harus memiliki kemampuan
otak dan modal. Mereka akan selalu tercecar dan tersisih dalam
persaingan memperebutkan bangku sekolah. Masih beruntung bagi
mereka yang memi liki kemampuan otak. Jika dapat mencapai prestasi
tinggi dan dapat dipertahankan secara konsisten, beasiswa yang aneka
ragam itu dapat diraih dan kantongpun tidak akan kering kerontang.
Dengan memberi kesempatan luas untuk mencapai tingkat pendidikan
dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi bagi seluruh warga negara
Indonesia tanpa kecuali, prasangka dan perasaan tidak adil pada sektor
pendidikan cepat atau lambat akan hi lang lenyap.

c. Sikap terbuka dan sikap lapang.
Harus selalu kita sadari bahwa berbagai tantangan yang datang dari
luar ataupun yang datang dari dalam negeri, semuanya akan dapat
merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat
berikut sejumlah nilai yang melekat, merupakan basis empuk bagi
timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan.

2. ETNOSENTRISME
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan,
yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam
kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nilainilai
yang terkandung dan tersirat dalam kebudayaan tersebut.
Suku bangsa, ras tersebut cenderung menganggap kebudayaan mereka
sebagai salah ssesuatu yang prima, ~iil, logis, sesuai dengan kodrat alam dan
sebaginya. Segala yang berbeda dengan kebudayaan yang mereka miliki,
dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, bertentangan
dengan kodrat alam dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas dikenal sebagai
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.

sumber : http://rizkharizkha.blogspot.com/2010/11/bab-10-prasangka-diskriminasi-dan.html

pelapisan sosial dan persamaan derajat

Contoh kasus 2 pelapisan social dan persamaan derajat
Peranan pria dan wanita yang dikonstruksi oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat disebut peran gender. Ini artinya, peran gender tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti Halnya peran kodrat (yang akan diuraikan pada bagian berikut dari tulisan ini). Peranan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita pada kedudukan (posisi) tertentu. Jadi, setiap kedudukan dilengkapi dengan seperangkat peranan. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin tinggi pula peranannya, sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang semakin rendah pula peranan yang dapat dijalankannya.
Pria dan wanita merupakan dua insan yang berbeda, tetapi bukan untuk dibeda-bedakan. Itulah makanya, di dalam UUD RI 1945 dan GBHN 1993, di antaranya diamanatkan bahwa pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa wanita mempunyai status yang lebih rendah dan mengalami ketertinggalan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pria dalam berbagai bidang pembangunan, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sebagai penikmat hasil pembangunan. Oleh karena itu, peningkatan peranan wanita yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita. Artinya, pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan-peranan dan kesempatan yang sama dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan. Pria dan wanita sama-sama merupakan tenaga yang berpotensi tinggi. Mengikutsertakan pria dan wanita dalam proses pembangunan, berarti merupakan tindakan yang efisien dan efektif.
Megawati Soekarno Putri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 63 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap kedua pemilu presiden 2004.
Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur.
Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.

Karir politik

1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.

1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.

1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.

1999
Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001)
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.

2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.

2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

Solusi dan kesimpulan
Kesetaraan gender bias diartikan dengan kesamaan kesempatan antara pria dan wanita diberbagai bidang , banyaknya ketimpangan yang dirasakan bias keluar dari bentuknya dengan sosialisasi bahwa dalam mengenai hak perempuan mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki meskipun tidak melupakan kodrat dan kewajibannya sebagai perempuan.

sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:H1ASj-CsMvYJ:sorayaaya.blogspot.com/2010/10/contoh-kasus-2-pelapisan-social-dan.html+contoh+kasus+pelapisan+sosial+dan+persamaan+derajat&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id

Agama dan Masyarakat

Artikel ini berangkat dari keprihatinan akan perbedaan umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan shalat Idul Fitri, yang terjadi hampir setiap tahun.

Tulisan ini juga terdorong oleh upaya Wapres Jusuf Kalla yang sejak tahun lalu menggagas upaya penyatuan Idul Fitri dengan mengumpulkan tokoh-tokoh ormas Islam terkemuka. Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu wilayah atau negara. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.

Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: rukyah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Pemerintah berpegang pada metode pertama. Karenanya, terdapat tim yang disebarkan untuk memantau dan melihat munculnya bulan pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan. Setelah itu, tim tersebut bersidang untuk menetapkan (itsbat) awal puasa dan Idul Fitri. Adapun metode hisab didasarkan pada perhitungan bintang yang lazim dalam ilmu falaq.

Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Yang maksimal diupayakan adalah saling menghargai pilihan masing-masing, meski sangat pahit menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi pemerintah dan mayoritas penduduknya menganut metode rukyah.

Jika begitu, apakah tak ada solusi untuk mempersatukan hari Idul Fitri bagi kaum Muslimin di Indonesia? Sebelumnya, patut diingat, bahwa meski Idul Fitri ini bukanlah ibadah wajib, tapi seluruh kaum muslimin bersemangat melaksanakannya. Karenanya, kita dapat memahami mengapa tidak ada satu kelompok pun yang mau mengalah dengan pendapatnya. Karenanya, solusi yang ditawarkan sulit untuk diterima oleh pihak manapun kecuali mempunyai landasan syar’i yang jelas.

Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã bersabda,

"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”

Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang rukyah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan dengan mayoritas umat.

Ulama hadits menjelaskan makna hadits ini. Yakni, puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah secara berjamaah dan dilakukan bersama mayoritas kaum Muslimin. (Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)

Karenanya, dalam sejarah Islam disebutkan tradisi kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (rukyah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu.

Yang tak kalah penting, ukuran mayoritas selain ditentukan dengan jumlah yang banyak secara mutlak juga diwakili oleh pemerintah yang berdaulat. Sebab, pada dasarnya pemerintah yang berdaulat adalah tempat bersatunya umat atau simbol persatuan umat yang secara otomatis bermakna mewakili mayoritas umat.

Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga persatuan umat Islam yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.

Bila landasan hadits tersebut telah dipahami, maka dapat disimpulkan:

Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas itu absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam. Makna kompetensi di sini adalah keislaman dan kesungguhan serta memiliki perangkat memadai.

Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.

Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sirr). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.

Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka lalu sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk 1 Syawwal-pen) maka ia wajib berbuka tetapi secara sirr (diam-diam) dan nanti beridil fitri bersama kaum muslimin.

Berbagai ormas Islam perlu menyadari, apabila sebuah perbedaan telah menjadi suatu keniscayaan dan tidak ada titik kompromi, maka perbedaan mungkin dapat dimaklumi. Tapi jika ada titik kompromi yang berlandaskan syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan yang ada.

Selain itu, masalah perbedaan hari Idul Fitri di Indonesia dapat diselesaikan dengan menjadikan pemerintah sebagai pihak yang menentukan hari Idul Fitri bagi segenap kaum muslimin di Indonesia dengan menerima masukan dari tokoh-tokoh ormas Islam, ulama dan kaum Muslimin umumnya.

Tentang metode penetapannya diserahkan pada pemerintah, melalui perangkat dan ahlinya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode rukyah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode rukyah harus berlapang dada.

Perlu pula digaris bawahi, hal ini bukan bentuk meninggalkan pendapat yang dianut, tapi untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan yang lebih besar. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah Õá ÇááÉ Úáíå æÓáã dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Beliau tidak mengubah bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, padahal beliau ingin dan telah berdaulat di Makkah. Meninggalkan yang sunnah demi yang wajib adalah jelas syariatnya dan telah disepakati oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Contoh lain, salah seorang ulama shahabat bernama Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu mengkritik khalifah Utsman radiyallahu ‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi persatuan ummat.

Akhirnya, teriring harapan agar semua pihak yang telah atau akan menentukan hari Id berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri.
Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.
Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita semua.

source : http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=1565&Itemid=147

Penduduk masyarkat dan kebudayaan

Cina
Letak kecantikan menurut tradisi kebudayaan masyarakat cima abad ke -20 adalah ukuran telapak kaki.semakin kecil telapak kaki maka semakin cantik lah wanita tersebut.oleh karna itu orang tua pada masa itu membungkus dan mengikat kaki anak mereka kuat-kuat agar tidak berkembang,ada juga orang tua yang memakaikan sepatu dari keramik agar kaki anaknya tetap kecil akan tetapi dampaknya anak tersebut tidak dapat berjalan dengan sempurna,karna telapak kakinya terlalu kecil.

Kayan
Di perbatasan Burma dan Thailand terdapat suku kayan yang melakukan ritual sejak belia.sejak usia 5 tahun anak perempuan mulai di pakaikan kalung(seperti cincin besar yang terbuat dari kuningan).setiap saat jumlah kalungnya di tambah sehingga semakin dewasa semakin banyak.tanpa disadari lehernya semakin memanjang.kilau yang ada pada kalung kuningan tersebut memberikan tanda keanggunan pada mereka.

India
Ukuran cantik di india di mana seorang wanita memiliki kulit halus dan rambut yang indah.oleh karna itu mereka rajin mencampur turmeric,jeruk lemon, dan madu untuk di olesi pada kulitnya.perempuan india juga di anggap semakin cantik dengan menggunakan tanda di dahi yang di sebut dengan kumkum.

Iran
Di iran perempuan di anggap cantik bila memiliki hidung yang mancung dan mungil.tak heran kaum wanita disana mendambakan hidung mungil nan indah.tapi kenyataanya kebanyakan perempuan iran memiliki hidung yang besar.oleh karna itu mereka rela melakukan apa saja agar hidungnya bisa mancung dan mungil.tak heran jika di iran adalah Negara yang melakukan jumlah operasi hidung terbanyak di dunia.

Dayak
Masyarakat suku dayak di Indonesia memandang kecantikan seorang perempuan dari banyaknya anting yang menempel di telinga.semakin banyak anting yang tergantung di telinga,semakin cantik lah dia.karna anting yang sangat banyak,tentu bebannya semakin berat.lama kelamaan daun telinga pun semakin memanjang dan menjulur kebawah.

Ethiopia
Di Negara Ethiopia,cantik adalah memiliki bekas luka cakar.para tetua akan meninggalkan bekas cakar di perut anak permpuan yang masih kecil.dalam pandanga mereka,bekas luka cakar itu akan menjadi daya tarik saat besar nanti.
Itu lah berbagai kebudayaan yang ada di dunia dan tradisi kecantikan yang diyakini berdasarkan setiap kebudayaan.

Masyarakat kota dan Masyarakat Desa

I. Latar Belakang

Kemajuan teknologi berpengaruh pada banyak unsur kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah unsur kesejahteraan. Kemajuan teknologi dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti penggunaan internet untuk memesan barang sehingga lebih efisien dan lebih cepat. Namun di Indonesia, terjadi suatu perbedaan yang mencolok sekali antara keadaan kesejahteraan di kota dan di desa. Tidaklah merata pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk daerah-daerah tersebut. Tentu ini berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk di daerah tersebut.
Sebelum kita membahas lebih jauh lagi, mari kita tinjau lebih dalam perbedaan antara kota dan desa.

A. Kota

"daerah pemukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat;daerah ang merupakan pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya"(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, Balai Pustaka, 1994, Jakarta)

"Sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis, atau sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur alami dan non-alami dan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukulp besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibanding dengan daerah di belakangnya" (Prof Bintarto, Geografi SMU, 1995, Jakarta)

Suatu pemukiman dapat dikatakan kota apabila telah tersedia berbagai fasilitas seperti: rumah tempat tinggal yang terbuat dari tembok yang kokoh dilengkapi sarana listrik yang cukup, air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana olahraga, pasar, tempat hiburan, tempat ibadah, sarana pendidikan, serta sarana dan prasarana transportasi dan telekomunikasi.
Berdasarkan fungsi dan ciri-cirinya, kota dibedakan menjadi beberapa jenis:
- Kota Administratif: Kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan wilayah tertentu. (Contoh: Jakarta, Yogyakarta)
- Kota Industri: Kota yang merupakan tempat konsentrasi industri penduduk yang sebagian besar terlibat di kegiatan itu.
- Kota Kosmopolitan: Kota yang mempunyai sifat internasional dgn banyaknya lembaga-lembaga perwakilan negara lain dan banyaknya penduduk yang merasa dirinya mewakili kebudayaan dan pemikiran internasional
- Kota Metropolitan: Kota besar yang menguasai daerah sekelilingnya
- Kota Pelabuhan: Kota yang merupakan perluasan dari pelabuhan
- Kota Religi: Kota yang berfungsi sebagai pusat keagamaan (Contoh: Vatikan)
- Dan lain lain
Pada umumnya kota dibagi 2 bagian yaitu:
- Inti Kota: Merupakan pusat kegiatan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
- Kota Satelit: Pemekaran dari pusat kota.

B. Desa

"kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri" (Kamus Besar Bahas Indonesia Edisi II, Balai Pustaka, 1994, Jakarta)

"Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia" (UU no 5/1979)

Berdasarkan potensi fisik dan nonfisik, desa dibagi menjadi 3:
- Desa Swadaya: Desa yang belum dapat memanfaatkan potensi yang ada (terutama sumber daya alam) karena kekurangan tenaga kerja dan dana. Desa ini terletak di daerah yang masih terpencil. Penduduknya rata-rata tidak berpendidikan atau berpendidikan sampai SD, dan kebanyakan masih terikat dengan tradisi, selain itu mereka juga masih miskin. Mata pencaharian penduduk kebanyakan masih bercocok tanam. Fasilitas sarana dan prasarana sangat kurang, dan transportasi dari dan ke desa masih belum memadai.
- Desa Swakarsa: Desa yang baru mulai memanfaatkan potensi yang ada tetapi kekurangan dana. Desa ini terletak di daerah-daerah peralihan antara daerah kota dan daerah terpencil. Masyarakat desa ini sudah banyak mengenyam pendidikan meskipun jarang yang sampai tingkat universitas (kebanyakan lulusan SD-SMA), ikatan tradisi sudah mulai menghilang dan keadaan ekonomi sudah mulai meningkat. Mata pencaharian penduduk sudah mulai bervariasi, tidak hanya di bidang pertanian. Fasilitas sarana dan prasarana sudah mulai ada, dan dibuat secara bergotong royong, mengingat dana masih terbatas. Transportasi dari dan ke desa sudah mulai ada, seperti pembuatan jalan.
- Desa Swasembada: Desa yang sudah memanfaatkan semua potensi yang ada secara optimal. Selain memiliki potensi yang memadai, dana dan tenaga sudah tersedia. Desa ini biasanya terletak di daerah perkotaan. Kehidupannya sudah mulai modern karena mendapat pengaruh dari kota. Masyarakat di desa ini hampir semua sudah mengenyam pendidikan, bahkan cukup banyak yang sampai ke tingkat universitas. Ikatan tradisi sudah menghilang dan keadaan ekonomi cukup tinggi. Mata pencaharian penduduk sudah sangat bervariasi, mulai dari bidang pertanian sampai dengan jasa. Fasilitas sarana dan prasarana yang dibangun sudah cukup baik. Transportasi dari dan ke desa sudah lancar.

II. Isi
Kota memiliki fasilitas yang berbeda dengan desa. Permasalahan kesejahteraan mencakup beberapa bidang, yaitu bidang kesehatan, bidang ekonomi (pendapatan per kapita, perdagangan),

1. Bidang kesehatan


A. Ditinjau dari fasilitas kesehatan
Di desa, fasilitas kesehatan yang ada bervariasi sampai dengan klinik atau puskesmas. Rumah sakit ada namun tidak umum (hanya ada beberapa rumah sakit umum daerah, itupun tidak di semua desa). Alat-alatnya juga sederhana, tidak banyak alat-alat khusus untuk operasi. Alat-alat yang ada hanya untuk menunjang penyembuhan penyakit yang ringan (seperti luka-luka, imunisasi, batuk2, flu, dsb). Obat-obatan yang ada juga terbatas untuk penyembuhan penyakit yang umum (seperti DBD;itupun kurang lengkap, TBC, Tipus, Kolera, diare, infeksi akibat tetanus/luka, dsb). Jumlah bangsal untuk tempat rawat inap pun hanya sedikit, jika dibanding dengan kota.







Rumah Sakit Umum Daerah
Puskesmas Daerah

Di kota, fasilitas kesehatan bervariasi sampai dengan Rumah Sakit. Puskesmas dan Klinik sudah ada di berbagai tempat di kota. Jumlahnya pun sangat memadai (sampai dengan/lebih dari 100). Alat-alatnya sudah canggih, dan dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit yang berat (seperti kemoterapi, perawatan pasien DBD). Alat-alat untuk operasi juga sudah memadai, bisa untuk melakukan suatu operasi besar (seperti pengangkatan kanker, atau pemisahan bayi kembar). Jumlah bangsal untuk rawat inap pun sudah banyak.

Rumah Sakit Persahabatan

B. Ditinjau dari tenaga kerja
Tenaga kerja di puskesmas desa hanya terbatas sampai dengan dokter umum dan dokter bidan, jarang ditemukan dokter spesialis (selain bidan). Jumlahnya pun tidak banyak. Kebanyakan tenaga kerja yang ada belum banyak pengalaman kerjanya (kalaupun ada hanya beberapa).

Sedangkan di kota, tenaga kerja memadai di mana-mana, paling sedikit 1 rumah sakit ada 3 dari bbrp jenis dokter spesialis, yaitu spesialis mata, spesialis gigi, spesialis penyakit dalam, spesialis kulit, spesialis anak, spesialis THT, Psikiater, Bidan, dll. Selain itu, di kota ada banyak universitas dengan fakultas kedokteran, sehingga rumah sakit-rumah sakit tidak kekurang tenaga kerja sebab mahasiswa kedokteran yang sudah mendapat gelar sarjana kedokteran yang sedang menjalani tahap klinik bisa berperan sebagai dokter (sebagai dokter muda)

Dilihat dari keadaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat kota di bidang kesehatan cenderung lebih tinggi daripada masyarakat desa, sebab warga kota lebih tinggi persentase kesembuhannya dibandingkan warga desa. Sedangkan apabila ada warga desa yang sakit, namun tidak bisa disembuhkan di klinik desa, maka harus dirujuk ke rumah sakit kota, yang tentu saja biayanya lebih mahal bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat desa, dan juga jaraknya lebih jauh. Sedangkan bila ingin dibebaskan biaya rumah sakit, maka warga desa harus mempunyai kartu sehat, yang pengurusannya pada kenyataannya rumit dan malah membuang-buang waktu. Bahkan ada juga yang memungut biaya.


2. Bidang Pendidikan

Pendidikan tentu berpengaruh banyak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang umumnya berpendidikan tinggi akan lebih sejahtera, sebab mereka lebih tahu bagaimana mencari jalan keluar dari masalah-masalah seputar kehidupan dengan lebih baik daripada orang-orang yang tidak berpendidikan setinggi mereka.
Di desa, pada umumnya tingkat pendidikannya hanya sampai SMA. Adapun mereka yang berasal dari desa yang telah melanjutkan pendidikannya sampai ke universitas (sarjana) , kebanyakan tidak kembali ke desanya, dan tidak mengusahakan suatu perngembangan bagi desanya.
Di kota terdapat banyak pusat pendidikan, universitas, pusat-pusat penelitian yang dapat meningkatkan pengembangan kota tersebut. Masyarakat kota pun umumnya berpendidikan tinggi (minimal SMA) dan memiliki potensi SDM yang lebih baik. Mereka dapat mengusahakan suatu bidang usaha menjadi lebih optimal hasilnya.

3. Bidang Ekonomi

Masyarakat desa memiliki pendapatan yang tidak besar. Sebab kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian di bidang agraria. Kekayaan di desa juga tidak hanya diukur dari berapa uang yang mereka miliki namun dari berapa jumlah ternak yang mereka punya. Ini adalah suatu dampak dari kurangnya teknologi di desa. Masyarakat desa kebanyakan menyimpan uangnya di rumah, atau di celengan. Padahal rumah juga tidak permanen, begitu pula celengan. Apabila suatu hari terjadi kebakaran, atau bisa saja perampokan, yang berakibat pada hilangnya uang mereka. Ternak bisa terkena penyakit (seperti anthrax) dan mati. Kekayaan mereka tidak permanen. Mereka belum mengenal lebih dalam tentang fungsi dari bank. Atau bahkan ada yang belum mengenal bank sama sekali. Meski ada yang sudah menabung di koperasi, namun belum semua melakukannya. Tingkat ekonomi tentu berpengaruh pada tingkat kesejahteraan. Dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka sulit untuk mengembangkan diri ke tingkat yang lebih tinggi, seperti menyekolahkan anaknya sampai ke universitas, atau membeli modal untuk mengembangkan usaha mereka. Mereka juga kurang mampu membeli fasilitas penunjang seperti transportasi yang lebih efisien (mobil, motor, di desa masih dianggap sebagai barang mewah).
Di kota, tingkat ekonomi bervariasi. Ada yang miskin sekali dan ada yang sangat kaya raya. Kebanyakan orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan adalah akibat urbanisasi. Walaupun begitu, masyarakat kota memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi di bidang ekonomi. Sebab dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka dapat lebih mengembangkan dirinya. Bahkan sekarang dengan teknologi internet, mereka bisa membuka usaha sendiri, bahkan meraup keuntungan sampai berjuta-juta rupiah setiap bulannya.

4. Pusat-pusat Hiburan

Hiburan dan rekreasi juga merupakan suatu faktor kesejahteraan masyarakat. Tentu keberadaan pusat hiburan itu juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi.
Di desa, pusat rekreasi jarang ada. Hiburan bagi anak-anak biasanya permainan sederhana seperti congklak, tali karet, gundu, atau bola. Hiburan pada orang dewasa umumnya radio, atau bila memiliki cukup uang, televisi. Pada saat-saat tertentu diadakan pesta-pesta untuk memperingati suatu even (seperti pesta sukuran atas hasil panen yang baik). Hiburan dan rekreasi bagi masyarakat desa belum bervariasi dan masih tradisional.
Di kota, pusat rekreasi sudah sangat bervariasi. Sebut saja pusat hiburan, mulai dari mall, diskotik, kafe, bioskop, sampai tempat-tempat hiburan berbau seks pun ada di sini. Ini merupakan efek dari kemajuan teknologi yang sangat tinggi di kota. Anak-anak di kota umumnya sudah kurang mengenal permainan congklak atau tali karet, dan digantikan dengan permainan game online di internet, atau bermain playstation. Sedangkan orang dewasanya mencari hiburan di mall, atau di diskotik. Atau pergi menonton di bioskop, dan banyak lagi.
Dengan variasi hiburan dan rekreasi yang sangat berbeda antara kota dan desa, tentu mempengaruhi kesejahteraan. Orang-orang kota memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih hiburan, dan tentu ini mempengaruhi kesenangan mereka. Sedangkan di desa, meski orang-orangnya juga memiliki hiburan sendiri, namun karena kurangnya variasi maka rasa bosan akan timbul suatu saat.

Dari beberapa perbandingan antara kota dan desa di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kota lebih sejahtera daripada di desa. Akibat dari kesejahteraan masyarakat di desa, berpengaruh pula pada kesejahteraan di kota. Seperti pada contohnya urbanisasi. Urbanisasi disebabkan oleh beberapa faktor:
- dorongan ekonomi
masyarakat desa ingin menjadi berkecukupan secara ekonomi, dan mereka mendengar bahwa dengan bekerja di kota mereka dapat menjadi kaya. Padahal ini tidak sepenuhnya benar, mengingat persaingan di kota sangat tinggi, dan masyarakat desa pada umumnya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bersaing di kota, terutama kota-kota besar.
- dorongan rekreasi
masyarakat desa yang mendengar tentang mewahnya fasilitas hiburan di kota, menjadi tertarik untuk pindah ke sana. Namun mereka kurang mendapat informasi bahwa biaya yang diperlukan juga tidak murah. Akibatnya setelah mereka pindah ke kota, karena tidak mengetahui biaya yang dibutuhkan, sehingga uang simpanannya habis dan menjadi miskin.

Akibat kedua hal di atas, penduduk kota semakin bertambah dan ini berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat kota. Persaingan di kota semakin bertambah ketat. Akibatnya berpengaruh pada tingkat pengangguran. Karena banyak orang yang menganggur, tingkat kriminalitas meningkat. Akibat kriminalitas yang meningkat, masyarakat kota menjadi resah dan merasa tidak aman.


source : http://www.google.co.id/search?q=perbandingan+masyarakat+kota+dengan+desa&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a

Pemuda dan Sosialisasi

- Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini penulis akan merumuskan tentang:
1. Bagaimana Pengertian tentang pemuda.
2. Bagaimana pengertian sosialiasi
3. Bagaimana pengertian Internalisasi
4. Bagaimana gambaran pemuda dan identiasnya

- Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang bagaimana pengertian dari pemuda, bagaimana pengertian dari sosialisasi dan Internalisasi pemuda. Dan bagaimana gambaran pemuda dengan identitas dirinya.
- Latar Belakang Masalah
Masalah pemuda merupakan masalah yang abadi dan selalu dialami oleh setiap generasi dalam hubungannya dengan generasi yang lebih tua. Masalah-masalah pemuda ini disebakan karena sebagai akibat dari proses pendewasaan seseorang, penyusuan diri dengan situasi yang baru dan timbulah harapan setiap pemuda karena akan mempunyai masa depan yang baik daripada orang tuanya. Proses perubahan itu terjadi secara lambat dan teratur (evolusi)
Sebagian besar pemuda mengalami pendidikan yang lebih daripada orang tuanya. Orang tua sebagai peer group yang memberikan bimbingan, pengarahan, karena merupakan norma-norma masyarakat, sehingga dapat dipergunakan dalam hidupnya. Banyak sekali masalah yang tidak terpecahkan karena kejadian yang menimpa mereka belum pernah dialami dan diuangkapkannya.
Dewasa ini umum dikemukakan bahwa secara biologis dan politis serta fisik seorang pemuda sudah dewasa akan tetapi secara ekonomis, psikologis masih kurang dewasa. Contohnya seperti pemuda-pemuda yang sudah menikah, mempunyai keluarga, menikmati hak politiknya sebagai warga Negara tapi dalam segi ekonominya masih tergantung kepada orang tuanya.
PEMUDA DAN SOSIALISASINYA DALAM PERMASALAHAN GENERASI NASIONAL

A. Pengertian Pemuda
Telah kita ketahui bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah nilai. hal ini merupakan pengertian idiologis dan kultural daripada pengertian ini. Di dalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karma pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan.
Ada beberapa kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya atas tatanan masyarakat, antara lain:
a. Kemurnian idealismenya
b. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
c. Semangat pengabdiannya
d. Sepontanitas dan dinamikanya
e. Inovasi dan kreativitasnya
f. Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
g. Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
h. Masih langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat, sikap dan tindakanya dengan kenyataan yang ada.

B. Sosialisasi Pemuda
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam sosialisasi, antara lain: Proses Sosialisasi, Media Sosialisasi dan Tujuan Sosialisasi.
a) Proses sosialisasi
Istilah sosialisasi menunjuk pada semua factor dan proses yang membuat manusia menjadi selaras dalam hidup ditengah-tengah orang kain. Proses sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu bagaimana mesti ia bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Dari proses tersebut, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya.
Semua warga negara mengalami proses sosialisasi tanpa kecuali dan kemampuan untuk hidup ditengah-tengah orang lain atau mengikuti norma yang berlaku dimasyarakat. Ini tidak datang begitu saja ketika seseorang dilahirkan, melainkan melalui proses sosialisasi.
b) Media Sosialisasi
• Orang tua dan keluarga
• Sekolah
• Masyarakat
• Teman bermain
• Media Massa.
c) Tujuan Pokok Sosialisasi
• Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.
• Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengenbangkankan kemampuannya.
• Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
• Bertingkah laku secara selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan pada masyarakat umum.

C. Internalisasi
Adalah proses norma-norma yang mencakup norma-norma kemasyarakatan yang tidak berhenti sampai institusional saja, akan tetapi mungkin norma-norma tersebut sudah mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
a. Pendekatan klasik tentang pemuda
Melihat bahwa muda merupakan masa perkembangan yang enak dan menarik. Kepemudaan merupakan suatu fase dalam pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat seketika dan suatu waktu akan hilang dengan sendirinya, maka keanehan-keanehan yang menjadi ciri khas masa muda akan hilang sejalan dengan berubahnya usia.
Menurut pendekatan yang klasik ini, pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Selanjutnya munculah persoalan-persoalan frustasi dan kecemasan pemuda karena keinginan-keinginan mereka tidak sejalan dengan kenyataan. Dan timbulah konflik dalam berbagai bentuk proses. Di sinilah pemuda bergejolak untuk mencari identitas mereka.
b. Dalam hal ini hakikat kepemudaan ditinjau dari dua asumsi pokok.
Penghayatan mengenai proses perkembangan manusia bukan sebagai suatu koninum yang sambung menyambung tetapi fragmentaris, terpecah-pecah dan setiap pragmen mempunyai arti sendiri-sendiri.
Asumsi wawasan kehidupan adalah posisi pemuda dalam arah kehidupan sendiri. Perbedaan antar kelompok-kelompok yang ada, antar generasi tua dan pemuda, misalnya hanya terletak pada derajat ruang lingkup tanggung jawabnya.
Generasi tua sebagai angkatan-angkatan yang lalu (passing generation) yang berkewajiban membimbing generasi muda sebagai generasi penerus. Dan generasi pemuda yang penuh dinamika hidup berkewajiban mengisi akumulator generasi tua yang mulai melemah, disamping memetik buah-buah pengalamannya, yang telah terkumpul oleh pengalamannya.
Pihak generasi tua tidak bisa menuntut bahwa merekalah satu-satunya penyelamat masyarakat dan dunia. Dana melihat generasi muda sebagai perusak tatanan sosial yang sudah mapan, sebaliknya generasi muda juga tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk memelihara dunia. Dengan demikian maka adanya penilaian yang baku (fixed standard) yang melihat generasi tua adalah sebagai ahli waris. Dari segala ukuran dan nilai dalam masyarakat, karena itu para pemuda menghakimi karena cenderung menyeleweng dari ukuran dan nilai tersebut karena tidak bisa diterima. Bertolak dari suatu kenyataan, bahwa bukan saja pemuda tapi generasi tua pun harus sensitif terhadap dinamika lingkungan dengan ukuran standard yang baik.
Dengan pendapat di atas jelas kiranya bahwa pendekatan ekosferis mengenai pemuda, bahwa segala jenis ”kelainan” yang hingga kini seolah-olah menjadi hak paten pemuda akan lebih dimengerti sebagai suatu keresahan dari masyarakat sendiri sebagai keseluruhan. Secara spesifiknya lagi, gejolak hidup pemuda dewasa ini adalah respon terhadap lingkungan yang kini berubah dengan cepat.

D. Pemuda Dan Identitas
Telah kita ketahui bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah dan merupakan beban modal bagi para pemuda. Tetapi di lain pihak pemuda juga menghadapi pesoalan seperti kenakalan remaja, ketidakpatuhan kepada orang tua, frustasi, kecanduan narkotika, masa depan suram. Semuanya itu akibat adanya jurang antara keinginan dalam harapan dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Kaum muda dalam setiap masyarakat dianggap sedang mengalami apa yang dinamakan ”moratorium”. Moratorium adalah masa persiapan yang diadakan masyarakat untuk memungkinkan pemuda-pemuda dalam waktu tertentu mengalami perubahan.
Menurut pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda bahwa generasi muda dapat dilihat dari berbagai aspek sosial, yakni:
1. Sosial psikologi
2. sosial budaya
3. sosial ekonomi
4. sosial politik

- Masalah-masalah yang menyangkut generasi muda dewasa ini adalah:
a. Dirasakan menurunnya jiwa nasionalisme, idealisme dan patriotisme di kalangan generasi muda
b. Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya
c. Belum seimbangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia
d. Kurangnya lapangan dan kesempatan kerja.
e. Kurangnya gizi yang dapat menghambat pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasan
f. Masih banyaknya perkawinan-perkawinan di bawah umur
g. Adanya generasi muda yang menderita fisik dan mental
h. Pergaulan bebas
i. Meningkatnya kenakalan remaja, penyalahagunaan narkotika
j. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengangkut generasi muda.

- Peran pemuda dalam masyarakat
a. Peranan pemuda yang didasarkan atas usaha pemuda untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b. Peranan pemuda yang menolak unsur menyesuaikan diri dengan lingkungannya
c. Asas edukatif
d. Asas persatuan dan kesatuan bangsa
e. Asas swakarsa
f. Asas keselarasan dan terpadu
g. Asas pendayagunaan dan fungsionaliasi

- Arah Pembinaan Dan Pengembangan Generasi Muda
Arah pembinaan dan pengembangan generasi muda ditunjukan pada pembangunan yang memiliki keselarasn dan keutuhan antara ketiga sumbu orientasi hidupnya yakni.
a. Orientasi ke atas kepada Tuhan Yang Masa Esa.
b. Orientasi dalam dirinya sendiri
c. Orientasi ke luar hidup di lingkungan
Peranan mahasiswa dalam masyarakat
a. Agen of change
b. Agen of development
c. Agen of modernization

KESIMPULAN
Pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan Negara bangsa dan agama. Selain itu pemuda/mahasiswa mempunyai peran sebagai pendekar intelektual dan sebagai pendekar social yaitu bahwa para pemuda selain mempunyai ide-ide atau gagasan yang perlu dikembangkan selain itu juga berperan sebagai perubah Negara dan bangsa ini. Oleh siapa lagi kalau bukan oleh generasi selanjutnya maka dari itu para pemuda harus memnpunyai ilmu yang tinggi dengan cara sekolah atau dengan yang lainnya, dengan begitu bangsa ini akan maju aman dan sentosa.
1. Jika dibandingkan dengan generasi sebelum dan generasi berikutnya, setiap generasi memiliki cirri-ciri khas corak atau watak pergerakan / perjuangan. Sehubungan dengan itu, sejak kebangkitan Nasional, di Indonesia pernah tumbuh dan berkembang tiga generasi yaitu generasi 20-an generasi 45 dan generasi 66, dengan masing-masing ciri khasnya.
2. Ada dua regenerasi, yaitu :
a. Regenerasi yang berlangsung alamiah. Artinya generasi berjalan lumrah seperti yang terjadi pada kelompok dunia tumbuhan atau hewan. Proses regenerasi ini berjalan sebagai biasa-biasa saja, berlangsung secara alami, tidak di ekspos atau dipublikasikan.
b. Regenerasi berencana, artinya proses regenerasi ini sungguh-sungguh direncanakan, dipersiapkan. Pada masyarakat, suku-suku primitip, proses regenerasi dibakukan dalam lembaga dapat yang disebut inisiasi. Oleh karena itu system regenerasi seperti ini lebih tepat disebut regenerasi Kaderisasi. Pada hakikatnya system regenerasi-kaderisasi adalah proses tempat para kader pimpinan para suku atau bangsa digembleng serta dipersiapkan sebagai pimpinan suku atau bangsa pada generasi berikutnya. Menggantikan generasi tua. Regenerasi-kaderisasi suatu suku atau bangsa diperlukan untuk dipertahankan kelangsungan eksistensinya serta kesinambungan suatu generasi atau bangsa, disamping dihadapkan terjaminnya kelestarian nilai-nilai budaya nenek moyang.
3. Demi kesinambungan generasi dan kepemimpinan bangsa Indonesia telah memiliki KNPI dan AMPI sebagai wadah forum komunikasi dan tempat penggembleng. Menempa dan mencetak kader-kader dan pimpinan bangsa yang tangguh dan merakyat.
4. Generasi muda Indonesia mulai turut dalam peraturan aksi-aksi Tritura, Supersemar,
5. Bidang pendidikan yang dapat menopang pembangunan dengan melahirkan tenaga-tenaga terampil dalam bidangnya masing-masing dapat digolongkan dalam tiga bidang yaitu pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal.


Sumber : http://www.anakciremai.com/2009/10/makalah-sosiologi-tentang-pemuda-dan.html

Warga negara dan negara

KASUS TKI INDONESIA

Kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat hanya puncak
gunung es dari problem yang dihadapi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri. Dan meski penganiayaan itu
melibatkan unsur kriminal majikannya di Malaysia,
problem utama sebenarnya terletak pada Pemerintah
Indonesia—-khususnya Departemen Tenaga Kerja dan
Departemen Luar Negeri. Kinerja Pemerintah Indonesia
dalam melindungi warga negaranya yang berkeja di luar
negeri masih terlalu minimal.

Kasus Nirmala mendominasi pemberitaan media baik di
Malaysia maupun Indonesia akhir pekan ini. Koran di
Malaysia sendiri menyebut ini sebagai salah satu kasus
paling brutal yang menimpa tenaga kerja asal
Indonesia.

Kasus ini menarik mengingat peristiwanya terungkap
hanya dua pekan setelah Menteri Tenaga Kerja Indonesia
Jacob Nuwa Wea menandatangani nota kesepahaman dengan
rekannya dari Malaysia, Datuk Wira Fong Chan Oan,
tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Nota kesepahaman itu dianggap sebagai “landmark”, atau
sebuah perjanjian penting, yang meliputi perlindungan
lebih baik terhadap tenaga kerja kita.

Kita berharap nota kesepahaman itu bisa memberi
keadilan kepada Nirmala, dan mencegah peristiwa serupa
berulang. Namun, upaya jauh lebih besar nampaknya
harus dilakukan pemerintah dari sekedar membuat
perjanjian bilateral dan menuntut negeri lain
melindungi tenga kerja kita. Tanggungjawab utama
perlindungan tenaga kerja terletak pada pemerintah
kita sendiri—-eksekutif maupun legislatif. Beberapa
kasus belakangan ini menunjukkan pemerintah belum
berbuat serius.

Pengakuan Nirmala menunjukkan bahwa layanan yang
paling dasar pun sebenarnya belum dipenuhi. Nirmala
mengaku telah memperoleh pengakuan buruk sejak
beberapa bulan lalu, namun “tidak tahu kemana harus
mengadu”. Ini artinya dia, dan juga banyak tenaga
kerja lain, tidak dibekali pengetahuan dasar yang
memadai tentang hak-haknya sebelum berangkat.

Jangankan pengetahuan dasar. Kasus lain menunjukkan
bahwa instansi yang paling berwenang, yakni Direktorat
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia, Departemen Luar Negeri, tidak punya pusat
informasi dengan data akurat tentang tenaga kerja ini.
Keterlambatan selama berbulan-bulan pengiriman dua
jenasah tenaga kerja Indonesia yang meninggal di
Yordania adalah buktinya.

Lapangan kerja di luar negeri jelas membantu
Pemerintah Indonesia yang kini dihadapkan pada
tinggginya tingkat pengangguran di dalam negeri.
Tenaga kerja yang keluar juga menjadi sumber devisa
lewat pajak yang disedot dari keringat mereka. Meski
mereka umumnya pekerja rendahan, menjadi pembantu
rumah tangga misalnya, mereka sebenarnya layak disebut
pahlawan. Tapi, perlakukan pemerintah kita terhadap
mereka masih sangat buruk.

Tidak hanya pemerintah dari sayap eksekutif yang harus
bekerja keras. Para anggota dewan pun mesti lebih
peduli. Para wakil rakyat itu mesti segera menuntaskan
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri. Selama ini,
pengaturan pengaturan penempatan mereka hanya
didasarkan pada Keputusan Menteri atau perjanjian
bilateral setingkat menteri belaka.

source : http://fgaban.blogspot.com/2004/06/tragedi-nirmala-bonat.html

Individu, keluarga dan masyarakat

KASUS KEKERASAN PADA ANAK

Kasus Kekerasan pada anak di Indonesia makin lama makin bertambah jumlah kasusnya, hal ini pun bisa saja meningkat jika masyarakat tetap melakukan kekerasan pada anak. Sekitar 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis, 12.726 anak mengalami kekerasan seksual. Sementara 70.000–95.000 anak menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan komersial seksualitas. Sedangkan selama Januari hingga April 2008, jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0-18 tahun di Indonesia, terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi, yaitu 39,6 persen diantaranya, dilakukan oleh guru.

Masalah kekerasan pada anak di Indonesia begitu meluas dan kompleks, mulai dari penelantaran anak, kekerasan anak di sekolah, sampai masalah anak bunuh diri lantaran malu karena menunggak uang sekolah, masalah banyak anak yang putus sekolah dan sebagainya. Selain karena faktor ekonomi juga disebabkan kondisi sekolah yang tidak menyenangkan, seperti kualitas belajar-mengajar yang sangat rendah dan kurikulum yang tidak sesuai pada realitas anak.

Kekerasan pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi, namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh orang tua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak menonton tayangan televisi yang menayangkan kekerasan.

Orang tua harus mampu menjadi contoh anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah, seperti membelikan buku-buku cerita dan sekaligus bersedia mendongeng untuk anak. Sebaliknya, orang tua jangan hanya bisa bercerita apa yang mereka nonton di televisi. Selain itu, orang tua haruslah menanamkan nilai-nilai agama yang baik kepada anak.

Jika kekerasan pada anak di Indonesia dibiarkan, betapa malangnya kondisi generasi di masa depan yang akan dimiliki oleh Indonesia. Sebagai kaum terpelajar, tentulah kita menjadi trenyuh. Tetapi, trenyuh saja belumlah cukup untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukkan. Kita harus berjuang dalam mengajak orang lain yang ada di sekitar kita untuk berhenti melakukan kekerasan pada anak. Jika hal ini kita lakukan bersama, maka kelak Indonesia akan mempunyai banyak generasi yang unggul di masa depan.

Semoga program pemerintah ini tidak hanya bersifat slogan dan seremonial belaka tetapi dengan program pemerintah ini, semoga pemerintah dan semua elemen bangsa mampu mengurangi bahkan menghapus kasus kekerasan pada anak di Indonesia.

contoh Kasus: Vira (24 th), punya anak tak lama setelah menikah. Ia merasa menjadi tawaan yang tidak bebas lagi berkumpul dengan teman-teman. “Real life tak seperti romantisme yang saya bayangkan. Kebebasan saya terampas,” ujarnya. Maka pengasuhan bayi sepenuhnya diserahkan pada baby-sitter. Vira sendiri selalu pulang tepat sebelum suaminya tiba di rumah, seolah seharian mengurus anak. Padahal, “Tidur, mandi, makan, susu, bahkan uang belanja harian dna bulanan, saya serahkan sepenuhnya pada baby-sitter. Saya tak mau tertawan.”

Dampak emosi: Secara alami, anak memilih ibu untuk melekat. Disekap, disentuh, dibelai dan dipeluk adalah kebutuhan utama bayi. dari pengalaman ini bayi menumbuhkan cinta di hati, membangun rasa percaya di dalam diri dan terhadap orang lain, dan yang utama adalah tumbuhnya rasa aman. Itu sebabnya anak-anak dengan riwayat diabaikan, berisiko mengalami masalah-masalah emosi bahkan kejiwaan:

* Mudah cemas, depresi, sulit percaya pada orang lain dan merasa tidak aman.
* Penelitian Dante Cicchetti, ahli psikopatologi dari University of Minessota (AS) menyebut, 80% bayi yang ditelantarkan menunjukkan perilaku kelekatan yang tidak jelas.
* Di usia muda anak menolak dan melawan ppengasuhnya, bingung, gel;isah, atau cemas. Di usia 6 tahun, anak tidak bertingkah laku layaknya anak, ia ingin mendapat perhatian dengan cara melayani orang tuanya.

Dampak fisik: Asupan gizi yang tidak memadai.

Orang tua diharapkan: Konsultasi pada psikolog untuk mengkaji kembali perkawinanya dan untuk apa mempunyai anak, serta mengubah pola pikir.

Bantuan untuk anak oleh orang dewasa lain:

* Periksa anak ke dokter untuk mengetahui tumbuh-kembangnya serta status gizinya.
* Penuhi kebutuhan anak untuk menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman.
* Ajak anak bermain dna penuhi kebutuhan emosinya seperti diajak bicara atau dibelai, namun tetap mempertahankan sikap konsisiten, tidak cepat marah dan tidak memberi penilaian negatif pada sikap anak.

source :
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=10185
http://www.ayahbunda.co.id/mobile/article/mobArticleDetail.aspx?mc=001&smc=007&ar=430
 
Copyright Info.

Nulla enim nibh, conse ctetuer sed, vesti bulum eleme ntum, sagittis nec, diam. Mauris blan dit vehi cula neque. Read More

XHTML/CSS validations
Valid XHTML 1.0 Transitional Valid CSS!